DariAbu Najih al-Irbadh bin Sariyah berkata: Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa sallam menasihati kami dengan suatu nasihat yang menjadikan hati bergetar dan mata menangis, lalu kami berkata, “ Ya Rasulullah! Seolah-olah ini adalah
Darishahabat Al Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu. Shohih, lihat Irwa`ul Ghalil, hadits no. 2455) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah mengabarkan tentang sekelompok orang dari umat ini yang beliau memujinya dan merekomendasikannya, dengan sabdanya:
Dibawahini lima keutamaan shaf pertama yang disebutkan dalam hadits-hadits shahih: 1. Mendapatkan shalawat dari Allah U dan para malaikat. Telah diriwayatkan dari Irbadh bin Sariyah bahwa Nabi r memintakan ampun sebanyak
BeliSyarh As-Sunnah. 14 jilid lengkap. Pustaka Azzam. Penjelasan Tuntas Tentang Sunnah. Harga Murah di Lapak Bukuilmu. Pengiriman cepat Pembayaran 100% aman. Belanja Sekarang Juga Hanya di Bukalapak.
DariAl-’Irbadh bin Sariyah z, ia berkata: “Rasulullah r memberikan sebuah nasehat kepada kami dengan nasehat yang sangat mengena, hati menjadi gemetar dan matapun berderai air mata karenanya, maka kami katakan: ’Wahai Rasullullah, seolah-olah ini nasehat perpisahan maka berikan wasiat kepada kami’, lalu beliau katakan: ‘Saya
Didalam hadits Irbadh bin Sariyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Abu Dawud dan Tirmidzi, Tirmidzi berkata : hadits ini hasan sahih). Yang dimaksud dengan istilah “sunnah” di sini adalah jalan yang ditempuh oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Artinya janganlah kalian mengada-adakan di dalam agama ini
DariAbu Najih al-Irbadh bin Sariyah berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihati kami dengan suatu nasihat yang menjadikan hati bergetar dan mata menangis, lalu kami berkata, “Ya Rasulullah! Seolah-olah ini adalah nasihat perpisahan, maka berilah kami wasiat.” Hadits hasan, diriwayatkan oleh ad-Daruquthni dan
rJBZwQ. Berpeganglah Dengan Sunnahku dan Sunnah Para khulafa’urasyidin Setelahku Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du Berikut ini syarah hadits Irbadh bin Sariyah radhiyallahu anhu. Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin. Hadits Irbadh bin Sariyah radhiyallahu anhu Dari Abu Najih Al Irbadh bin Sariyah radhiyallahu anhu dia berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan kami nasehat yang membuat hati kami bergetar dan air mata kami bercucuran. Kami berkata, “Wahai Rasulullah, seakan-akan ini merupakan nasihat perpisahan, maka berilah kami wasiat.” Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفاً كًثِيْراً. فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ، فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ “Saya wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah Ta’ala, tunduk dan patuh kepada pemimpin meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak. Karena barang siapa yang hidup di antara kalian sepeninggalku, maka ia akan menyaksikan banyak perselisihan. Oleh karena itu, hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur rasyidin yang mendapatkan petunjuk, gigitlah genggamlah dengan kuat dengan geraham. Hendaklah kalian menghindari perkara yang diada-adakan dalam agama, karena semua perkara bid’ah adalah sesat.“ HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Hakim, dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 2549. Penjelasan hadits Irbadh bin Sariyah radhiyallahu anhu Kalimat, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan kami nasehat mau’izhah”. Mau’izhah artinya mengingatkan disertai targhib dorongan dan tarhib ancaman. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam memberikan nasihat melihat waktu yang tepat dan memperhatikan kondisi mad’u audien. Beliau shallallahu alaihi wa sallam juga dalam memberikan nasihat sangat menyentuh hati. Dalam memberikan nasihat, Beliau mengikuti Al Qur’an, yaitu menyertakan targhib dengan tarhib, sehingga tidak membuat putus asa manusia dan tidak membuat manusia berani melakukan maksiat. Sebagian kaum salaf berkata, إنَّ الْفَقِيهَ كُلُّ الْفَقِيهِ الَّذِي لَا يُؤَيِّسُ النَّاسَ مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ وَلَا يُجَرِّئُهُمْ عَلَى مَعَاصِي اللَّهِ “Sesungguhnya orang yang betul-betul faqih adalah orang yang tidak membuat putus asa manusia dari rahmat Allah dan tidak membuat mereka berani mengerjakan maksiat kepada Allah.” Sabda Beliau, “Bertakwa kepada Allah”, maksudnya adalah mencari perlindungan dari azab Allah dengan mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Hal ini merupakan hak Allah Azza wa Jalla. Dan tidak ada wasiat yang paling mulia dan paling lengkap melebihi wasiat untuk bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla, bahkan Allah mewasiatkan kita dan umat-umat sebelum kita untuk bertakwa kepada -Nya, Dia berfirman, وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُوا اللَّهَ وَإِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَكَانَ اللَّهُ غَنِيًّا حَمِيدًا “Dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan juga kepada kamu; bertakwalah kepada Allah. Tetapi jika kamu kafir Maka ketahuilah, sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang di bumi hanyalah kepunyaan Allah, dan Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” QS. An Nisaa 131 Sabda Beliau, “Tunduk dan patuh kepada pemimpin kalian,” maksudnya tunduk dan patuh kepada para pemimpin baik adil maupun zalim, yakni dengarkanlah apa yang mereka katakan dan jauhilah apa yang mereka larang, meskipun yang memimpin kalian seorang budak. Tentunya jika mereka tidak memerintahkan bermaksiat. jika ternyata memerintahkan bermaksiat, maka tidak boleh ditaati. Perintah menaati ulil amri disebutkan di surat An Nisaa’ ayat 59, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah Al Quran dan Rasul sunnahnya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari Akhir. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya. QS. An Nisaa’ 59 Pada ayat tersebut, taat kepada ulil amri tidak diberi tambahan “taatilah” sebagaimana ketika Allah memerintahkan taat kepada Allah dan Rasul-Nya, hal itu karena taat kepada ulil amri tidak mutlak. Ibnu Rajab Al Hanbaliy berkata, “Adapun mendengar dan taat kepada pemerintah kaum muslimin, maka di dalamnya terdapat kebahagiaan di dunia. Dengannya, maslahat kehidupan hamba menjadi tertib, dan dengannya pula mereka bisa menampakkan agama mereka dan menaati Rabb mereka.” Al Mubarakfuri berkata, “Dalam hadits tersebut terdapat dorongan untuk bersikap halus dan sejalan dengan pemerintah serta menjaga diri dari hal yang menimbulkan fitnah kekacauan dan mengakibatkan berpecah-belah.” Dalam Al Majma’ disebutkan, “Jika dikatakan, bahwa syarat imam pemerintah itu harus seorang merdeka, bersuku Quraisy, dan selamat anggota badannya dari cacat, maka saya katakan, “Ya, jika diangkat berdasarkan keputusan Ahlul Halli wal Aqdi tim pengangkat kepala negara. Tetapi jika suatu pemerintahan digulingkan oleh yang lain lalu yang menggulingkan menjadi pemimpin, maka tetap tidak boleh menyelisihinya, dan hukum-hukumnya tetap diberlakukan meskipun ia seorang budak atau seorang muslim yang fasik. Di samping itu, dalam hadits itu tidak disebut Imam, bahkan imam memberikan salah satu kekuasaan kepadanya.” Pensyarah kitab Aqidah Thahawiyyah berkata, أَمَّا لُزُوْمُ طَاعَتِهِمْ وَإِنْ جَارُوْا ، فَلِأَنَّهُ يَتَرَتَّبُ عَلَى الْخُرُوْجِ عَنْ طَاعَتِهِمْ مِنَ الْمَفَاسِدِ أَضْعَافُ مَا يَحْصُلُ مِنْ جَوْرِهِمْ ، بَلْ فِي الصَّبْرِ عَلَى جَوْرِهِمْ تَكْفِيْرُ السَّيِّئَاتِ ، وَمُضَاعَفَةُ الْأُجُوْرِ ، فَإِنَّ اللهَ تَعَالَى مَا سَلَّطَهُمْ عَلَيْنَا إِلاَّ لِفَسَادِ أَعْمَالِنَا ، وَالْجَزَاءُ مِنْ جِنْسِ الْعَمَلِ “Adapun wajibnya menaati mereka penguasa meskipun mereka zalim, karena memberontak terhadap mereka menimbulkan banyak mafsadat melebihi tindak kezaliman yang mereka lakukan. Bahkan bersabar terhadap gangguan mereka dapat menghapuskan kesalahan dan melipatgandakan pahala, karena Allah Ta’ala tidaklah memberikan kekuasaan kepada mereka atas kita kecuali karena buruknya amal kita, dan balasan itu sesuai dengan amalan yang dikerjakan.” Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ، إِلَّا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً» “Barang siapa yang melihat suatu hal yang tidak disukai dari pemimpinnya, maka hendaknya ia bersabar, karena barang siapa yang memisahkan diri dari jamaah sejengkal saja, lalu ia meninggal dunia, maka ia akan meninggal dunia dengan cara Jahiliyyah.” HR. Bukhari dan Muslim Sabda Beliau, “Karena barang siapa yang hidup di antara kalian sepeninggalku, maka ia akan menyaksikan banyak perselisihan. Oleh karena itu, hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur rasyidin yang mendapatkan petunjuk,” yakni siapa saja yang diberi umur panjang, maka ia akan melihat banyak perselisihan baik dalam masalah akidah, ibadah, manhaj jalan hidup, dsb. yang membuat seseorang kebingungan untuk memilih mana jalan yang harus ia ikuti, apalagi masing-masing golongan yang ada seakan-akan di atas kebenaran karena berdalil meskipun sebenarnya salah dalam memahami dalilnya. Apa yang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sampaikan ternyata benar-benar terjadi. Telah terjadi perselisihan yang banyak sepeninggal Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Hal, ini tampak sekali setelah terbunuhnya Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu, pintu fitnah terbuka, umat Islam pun berselisih dan terus berselisih. Namun demikian, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak membiarkan begitu saja umatnya kebingungan, bahkan Beliau memberikan jalan keluar saat kita menghadapi kondisi tersebut, yaitu dengan berpegang teguh dengan sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh kita untuk mengikuti sunnah Beliau meskipun menyelisihi kebanyakan orang. Tidak sebatas itu, Beliau juga menyuruh kita mengikuti para khalifah pengganti Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam yang rasyidin mendapat petunjuk, yang tidak lain adalah para sahabat Beliau, terutama khalifah yang empat; Abu Bakr, Umar, Utsman dan Ali radhiyallahu 'anhum. Hal itu, karena bisa saja di antara golongan-golongan itu berdalih dengan ayat atau hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, namun dalam memahaminya tidak seperti yang dipahami Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya, sehingga Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menambahkan dengan sunnah jalan yang ditempuh, cara beragama, dan pemahaman para sahabat, yakni apakah para sahabat memahami seperti itu ketika mendengar ayat atau hadits dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, terutama pada ayat atau hadits-hadits yang membutuhkan penjelasan tambahan karena masih samar. Oleh karena itu Al Hafizh Ibnu Katsir berkata dalam mukadimah kitab tafsirnya, “Apabila ada seseorang yang bertanya, “Apa cara terbaik dalam menafsirkan Al Qur’an?” Jawab, “Sesungguhnya cara terbaik dalam hal ini adalah menafsirkan Al Qur’an dengan penjelasan Al Quran, yang masih belum jelas di ayat ini mungkin dijelaskan di ayat lain. Jika kamu tidak menemukan penjelasan di ayat lain, maka dengan melihat As Sunnah, karena ia adalah pensyarah Al Qur’an dan penjelasnya…dst.” Kemudian Ibnu Katsir melanjutkan, “Jika kita tidak menemukan penjelasannya dalam Al Qur’an dan As Sunnah, maka kita melihat pendapat para sahabat, karena mereka lebih tahu tentang hal itu…dst.” Ibnu Katsir berkata lagi, “Jika kamu tidak menemukan dalam Al Qur’an, As Sunnah juga dari para sahabat, maka dalam hal ini para imam melihat pendapat para tabi’iin…dst.” Dengan cara seperti ini, yakni merujuk kepada Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman generasi pertama Islam As Salafush Shaalih, kita dapat selamat dari perselisihan. Inilah solusi agar kita tetap di atas hidayah saat terjadi banyak perselisihan dukhan seperti di zaman sekarang. Dengan demikian, tolok ukur benar tidaknya aqidah, pemahaman, jalan hidup, cara beragama, dan ibadah kita di zaman banyaknya perselisihan seperti sekarang ini adalah sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat, jika sudah sama seperti pemahaman mereka berarti pemahaman kita sudah benar. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا “Maka jika mereka beriman seperti yang kamu[i] telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk.” QS. Al Baqarah 137 Ayat di atas cukup jelas, bahwa jika kita memiliki pemahaman terhadap Islam seperti yang mereka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat pahami, tentu kita berada di atas petunjuk. Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu 'anhu berkata مَنْ كَانَ مِنْكُمْ مُتَأَسِّيأ فَلْيَتَأَسَّ بِأَصْحَابِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّهُمْ كَانُوْا اَبَرَّ هَذِهِ الْأُمَّةِ قُلُوْبًا وَاَعْمَقُهَا عِلْمًا وَاَقَلُّهَا تَكَلُّفًا وَأَقْوَمُهَا هَدْياً وَأَحْسَنُهَا حَالاً قَوْمٌ اِخْتَارَهُمُ اللهُ تَعَالَى لِصُحْبَةِ نَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاِقَامَةِ دِيْنِهِ فَاعْرِفُوْا لَهُمْ فَضْلَهُمْ وَاتَّبِعُوْهُمْ فِي آثَارِهِمْ فَإِنَّهُمْ كَانُوْا عَلَى الْهُدَى الْمُسْتَقِيْمِ “Barang siapa yang hendak mencari panutan, maka carilah panutan dari para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, karena mereka adalah orang yang paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, paling sedikit bebannya, paling lurus petunjuknya dan paling baik keadaannya. Mereka adalah orang-orang yang dipilih Allah Ta’ala untuk menemani Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam dan untuk menegakkan agamanya, Maka kenalilah keutamaan mereka dan ikutilah jejak mereka, karena mereka berada di atas petunjuk yang lurus.” Disebutkan oleh Ibnu Abdil Bar dalam Jaami’ Bayaanil ilm. Hudzaifah bin Al Yaman radhiyallahu 'anhu berkata, “Semua ibadah yang tidak pernah dilakukan para sahabat, maka janganlah kamu lakukan.” Di samping itu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat merupakan cermin ajaran Islam, yakni apabila kita ingin melihat Islam, maka lihatlah Rasulullah shallalllahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya, jangan melihat kaum muslimin zaman sekarang. Karena kaum muslimin di zaman sekarang banyak yang meninggalkan ajaran agamanya, mereka mengerjakan larangan-larangan dan meninggalkan perintah, sehingga tidak bisa melihat Islam dengan melihat mereka. Dalam hadits di atas juga kita diperintahkan menjauhi bid’ah, yakni mengada-ada dalam agama yang dibawa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Hadits ini merupakan dalil terlarangnya berbuat bid’ah. Oleh karena itu, jika seorang yang berbuat bid’ah berkata, Bukankah tidak ada larangannya saya mengerjakan ibadah ini? » Maka jawablah dengan hadits ini, yakni Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang semua bid’ah dalam agama. Karena jika disebutkan satu persatu tidak mungkin, disebabkan banyaknya jumlah bid’ah. Hadits di atas juga menerangkan bahwa bid’ah dalam agama semuanya sesat, tidak ada yang hasanah baik. Yang demikian adalah karena bid’ah menjadikan agama ini menjadi rusak. Faedah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, اِفْتَرَقَتِ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى أَوِ اثْنَتَيْنِ وَ سَبْعِيْنَ فِرْقَةً ، وَ تَفَرَّقَتِ النَّصَارَى عَلَى إِحْدَى أَوِ اثْنَتَيْنِ وَ سَبْعِيْنَ فِرْقَةً ، وَ تَفْتَرِقُ أُمَتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَ سَبْعِيْنَ فِرْقَةً “Orang-orang Yahudi telah berpecah belah menjadi tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua golongan. Orang-orang Nasrani telah berpecah belah menjadi tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua golongan, dan umatku akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan.”[ii] أَلاَ إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوْا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَ سَبْعِيْنَ مِلَّةً ، وَ إِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثٍ وَ سَبْعِيْنَ ، ثِنْتَانِ وَ سَبْعُوْنَ فِي النَّارِ ، وَ وَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ ، وَ هِيَ الْجَمَاعَةُ “Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang Ahli Kitab sebelummu telah berpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan, dan sesungguhnya umat ini akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan; tujuh puluh dua di neraka, dan satu di surga, yaitu Al Jamaa’ah.”[iii] Al Jamaa’ah menurut Ibnu Mas’ud adalah yang sejalan dengan kebenaran meskipun ia hanya sendiri. Al Jamaah adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’ saaful ummah mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan sunnah para khalifah setelahnya yang mendapat petunjuk seperti yang sudah diterangkan sebelumnya. Mereka terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Berdasarkan hadits di atas, maka mereka yang menyelisihi Al Jamaa’ah mendapatkan ancaman dengan masuk ke dalam neraka. Meskipun begitu, kita tidak memvonis secara ta’yin orang-perorang bahwa si fulan di neraka, karena boleh jadi ia beristighfar dan bertobat, lalu Allah mengampuni dan menerima tobatnya, atau dia memiliki amal saleh yang menghapuskan keburukannya, atau didoakan dan dimintakan ampunan oleh kaum mukmin ketika ia masih hidup atau sudah meninggal, atau mendapatkan syafaat Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, atau mendapat cobaan dari Allah Subhaanahu wa Ta’ala dengan cobaan-cobaan di dunia yang menghapuskan kesalahannya, atau mendapat ujian ketika di kubur, atau ia mendapatkan ujian pada hari Kiamat dengan rintangannya yang menghapuskan kesalahannya, atau mendapatkan rahmat dari Allah Yang Maha Penyayang. Demikian juga perlu diketahui, bahwa kalau pun tujuh puluh dua golongan ini masuk ke neraka, maka mereka tidak kekal di neraka, bahkan dibersihkan di neraka sesuai kadar penyimpangan dan kesesatannya. Adapun golongan Syi'ah dan Ahmadiyyah, maka menurut penulis, kedua golongan ini tidak termasuk ke dalam tujuh puluh tiga ini karena akidah mereka bertentangan dengan akidah Islam, dimana golongan yang satu Syi'ah mengatakan bahwa Al Qur'an yang dipegang kaum muslim telah dirobah, dikurangi dan diberi tambahan, sedangkan golongan yang satu lagi Ahmadiyyah mengatakan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang nabi, padahal tidak ada lagi nabi setelah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Wallahu a’lam wa shallallahu alaa Nabiyyinaa Muhammad wa alaa aalihi wa shahbihi wa sallam. Marwan bin Musa Maraji’ Maktabah Syamilah versi Tuhfatul Al Ahwadzi Al Mubarakfuri, Aunul Ma’bud M. Asyraf Al Azhim Abadiy, Faidhul Qadir Al Manawi, Silsilah Ash Shahihah M. Nashiruudin Al Albani, Tas-hihul Mafahim Al Khathi’ah dan Untaian Mutiara Hadits Penulis, Syarh AL Arba’in Al Luhaimid, dll. [i] Yakni Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya shallallahu 'alaihi wa sallam. [ii] HR. Abu Dawud 2/503-cet. Al Halabiy, Tirmidzi 3/367, Ibnu Majah 2/479, Ibnu Hibban dalam Shahihnya 1834, Al Ajuriy dalam Asy Syari’ah hal. 25, Hakim 1/128, Ahmad 2/332, Abu Ya’la dalam Musnadnya qaaf 280/2 dari beberapa jalan dari Muhammad bin Amr dari Abu Salamah dari Abu Hurairah secara marfu’. Tirmidzi berkata, “Hadits hasan shahih.” Hakim berkata, “Shahih sesuai syarat Muslim.” Dan disepakati oleh Imam Adz Dzahabi. Syaikh Al Albani berkata, “Dalam hal ini perlu ditinjau kembali, karena Muhammad bin Amr terdapat pembicaraan. Oleh karena itu, Imam Muslim tidak berhujjah dengannya, ia hanyalah meriwayatkan mutaba’ahnya, dan ia hasan haditsnya.” Lihat Ash Shahiihah 1/356 no. 203. [iii] HR. Abu Dawud 2/503-504, Darimiy 2/241, Ahmad 4/201, Hakim 1/128, Al Ajuriy dalam Asy Syarii’ah 18, Ibnu Baththah dalam Al Ibanah 2/108/2, 119/1, Al Laalikaa’i dalam Syarhus Sunnah 1/23/1 dari jalan Shafwan ia berkata, “Telah menceritakan kepadaku Azhar bin Abdullah Al Hauzaniy dari Abu Amir Abdullah bin Luhay dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Hakim berkata, “Sanad-sanad ini menjadikan hujjah tegak untuk menshahihkan hadits ini.” Adz Dzahabi menyetujuinya. Al Haafizh dalam Takhrij Al Kasysyaf hal. 63 berkata, “Dan isnadnya hasan.” Syaikh Al Albani berkata, “Beliau Al Hafizh tidak menshahihkannya, karena Azhar bin Abdullah ini tidak ada yang mentsiqahkannya selain Al Ijliy dan Ibnu Hibban, dan ketika Al Hafizh menyebutkan dalam At Tahdzib perkataan Al Azdiy terhadapnya, “Mereka membicarakannya.” Ia mengomentari dengan berkata, “Orang yang sangat jujur, namun mereka membicarakannya karena madzhab Nashibiynya.” Hadits ini disebutkan Al Hafizh Ibnu Katsir dalam tafsirnya 1/390 dari riwayat Ahmad, namun ia tidak membicarakan sanadnya, ia hanya mengisyaratkan kuatnya dengan perkataan, “Hadits ini datang dari beberapa jalan.” Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al Masaa’il 83/2 berkata, “Ia adalah hadits yang shahih lagi masyhur.” lihat Ash Shahiihah 1/358 no. 204.
Matan Hadits عَن أَبي نَجِيحٍ العربَاضِ بنِ سَاريَةَ رضي الله عنه قَالَ وَعَظَنا رَسُولُ اللهِ مَوعِظَةً وَجِلَت مِنهَا القُلُوبُ وَذَرَفَت مِنهَا العُيون. فَقُلْنَا يَارَسُولَ اللهِ كَأَنَّهَا مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَأَوصِنَا، قَالَ أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عز وجل وَالسَّمعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلافَاً كَثِيرَاً؛ فَعَلَيكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ المّهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فإنَّ كلّ مُحدثةٍ بدعة، وكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ رواه أبو داود والترمذي وقال حديث حسن صحيح. Dari Abu Najih Al Irbadh bin Sariyah Radhiallahu Anhu, dia berkata Rasulullah memberikan mau’izhah pelajaran kepada kami dengan nasihat yang membuat hati bergetar dan mengucurkan air mata. Kami berkata “Wahai Rasulullah, seakan ini adalah pelajaran perpisahan, berikanlah kami wasiat.” Beliau bersabda “Aku wasiatkan kepada kalian agar bertawa kepada Allah Azza wa Jalla, dengar dan taatlah walau pun yang memerintahkan kalian adalah seorang budak. Barang siapa di antara kalian yang masih hidup, niscaya akan banyak melihat perselisihan. Maka hendaknya kalian memegang sunahku dan sunah para Khulafa Rasyidin yang telah mendapatkan petunjuk, gigitlah dengan geraham kalian. Hati-hatilah dengan perkara-perkara yang baru, karena setiap yang baru itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.” Diriwayatkan oleh Abu Daud dan At Tirmidzi, katanya hasan shahih. Takhrij Hadits Imam Abu Daud dalam Sunannya No. 4607 Imam At Tirmidzi dalam Sunannya No. 2676 Imam Ahmad dalam Musnadnya No. 17142, 17144, 17145 Imam Al Hakim dalam Al Mustadrak 329 Imam Ad Darimi dalam Sunannya No. 95 Imam Ibnu Hibban dalam Shahihnya No. 5 Imam Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir 617, juga Musnad Asy Syamiyin No. 437, 1180, 1379 Imam Abu Nu’aim dalam Ma’rifatus Shahabah 4995 Imam Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah 102 Dll Sebagaimana dikatakan Imam An Nawawi, bahwa Imam At Tirmidzi mengatakan dalam Sunannya bahwa hadits ini hasan shahih. Imam Al Baghawi mengatakan hasan. Syarhus Sunnah No. 102. Syaikh Husein Salim Asad mengatakan shahih. Sunan Ad Darimi No. 95. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan shahih. Ta’liq Musnad Ahmad No. 17142. Syaikh Al Albani menshahihkan dalam berbagai kitabnya. Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 4607, Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 2676, Shahih At Targhib wat Tarhib No. 37, dll. Imam Al Hakim mengatakan shahih tidak ada cacat. Al Mustadrak No. 329, disepakati oleh Imam Adz Dzahabi Dalam kitab Al Arba’un ini dan beberapa kitab lain tertulis “ ….. taatlah walau yang memerintahkan kalian adalah budak.” Tetapi dalam kitab Sunan Abi Daud dan lainnya budak Habsyi Etiopia. Kandungan hadits secara global Hadits ini memiliki banyak faedah, di antaranya Hadits ini mengisyaratkan dengan jelas bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, adalah seorang rasul dan hambaNya, manusia yang juga akan mengalami kematian sebagaimana lainnya. Ada awal perjumpaan, ada pula perpisahan. Allah Ta’ala berfirman قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ Katakanlah Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku “Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa”. QS. Al Kahfi 18 110 Diceritakan dalam berbagai kitab hadits dengan kisah yang saling melengkapi, bahwa ketika hari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam wafat, Seorang sahabat yang mulia nan agung, Umar bin Al Khathab Radhiallahu Anhu, tidak mempercayainya, hal ini karena betapa besar cintanya kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Beliau berkata kepada orang yang mengatakannya كذبت والله ما مات رسول الله صلى الله عليه و سلم ولا يموت حتى يفني المنافقين “Engkau dusta! Demi Allah! tidaklah Rasulullah wafat, dia tidak akan mati sampai binasanya kaum munafik.” Saat itu manusia berkumpul di masjid, dan Umar berbicara kepada manusia. Lalu Abu Bakar Radhiallahu Anhu datang, dan menenangkan Umar Radhiallahu Anhu, dan berkata إجلس يا عمر فأبى فكلمه مرتين أو ثلاثا فأبى “Duduklah wahai Umar!” beliau menolak, lalu Abu Bakar berbicara kepadanya dua atau tiga kali, Beliau masih menolak. Maka Abu Bakar Radhiallahu Anhu berdiri, manusia mengikutinya dan meninggalkan Umar Radhiallahu Anhu, lalu Beliau memuji Allah Ta’ala dan berkata أما بعد فمن كان يعبد محمدا فإن محمدا صلى الله عليه و سلم قد مات و من كان يعبد الله فإن الله حي لا يموت Amma ba’d, barang siapa yang menyembah Muhammad maka Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam telah wafat. Barang siapa yang menyembah Allah, sesungguhnya Allah Maha Hidup tidak pernah mati. Setelah itu Abu Bakar membaca beberapa ayat وَمَا مُحَمَّدٌ إِلا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika Dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang murtad? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, Maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur. QS. Ali Imran 3 144 Juga ayat إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ Sesungguhnya kamu akan mati dan Sesungguhnya mereka akan mati pula. QS> Az Zumar 39 30 Lalu ayat وَمَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِنْ قَبْلِكَ الْخُلْدَ أَفَإِنْ مِتَّ فَهُمُ الْخَالِدُونَ Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu Muhammad; Maka Jikalau kamu mati, Apakah mereka akan kekal? QS. Al Anbiya 21 34 Aisyah Radhiallahu Anha berkata وَاللَّهِ لَكَأَنَّ النَّاسَ لَمْ يَكُونُوا يَعْلَمُونَ أَنَّ اللَّهَ أَنْزَلَهَا حَتَّى تَلَاهَا أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَتَلَقَّاهَا مِنْهُ النَّاسُ فَمَا يُسْمَعُ بَشَرٌ إِلَّا يَتْلُوهَا Demi Allah, seakan-akan manusia belum pernah tahu Allah menurunkan ayat itu sampai Abu Bakar Radhiallahu Anhu membacanya, lalu manusia mengambil ayat itu darinya, maka tidaklah mereka diperdengarkan ayat itu melainkan mereka membacanya. Dalam Sunan Ibnu Majah, Umar Radhiallahu Anhu berkata فَلَكَأَنِّي لَمْ أَقْرَأْهَا إِلاَّ يَوْمَئِذٍ. Benar-benar seakan aku belum pernah membacanya kecuali hari itu. Lihat Shahih Bukhari No. 1241, 1242, 3667, 4452, 4453, Sunan Ibnu Majah No. 1627, 6501, As Sunan Al Kubra Lil Baihaqi No. 6501, Musnad Ishaq bin Rahawaih No. 1718, dll Hendaknya seorang muslim memberikan wasiat kepada saudaranya yang akan ditinggalkannya, atau kepada saudara yang akan safar, atau kepada keluarganya, dengan wasiat taqwa dan kebaikan lainnya. Tentang jenis dan hukum wasiat telah kami jelaskan dalam Syarah hadits yang ke 16, silahkan merujuk! Perintah untuk taat kepada pemimpin umara walau dia seorang budak yang hitam. Ketaatan kepada pemimpin adalah wajib, tertera di dalam Al Quran, hadits, dan atsar sahabat. Namun ketaatan ini jika hanya diperintah dalam kebaikan, bukan kemaksiatan. Allah Ta’ala berfirman يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul Nya, dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah Al Quran dan Rasul sunnahnya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya. QS. An Nisa 4 59 Imam Ibnu Katsir Rahimahullah berkata tentang makna Ulil Amri والظاهر -والله أعلم-أن الآية في جميع أولي الأمر من الأمراء والعلماء Yang benar –Wallahu A’lam- bahwa semua ayat tentang Ulil Amri adalah bermakna umara dan ulama. Tafsir Al Quran Al Azhim, 2/345 Dalam hadits juga banyak disebutkan perintah taat kepada pemimpin. Dari Abu Hurairah Radhiallahu Anhu, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمَنْ أَطَاعَ أَمِيرِي فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ عَصَى أَمِيرِي فَقَدْ عَصَانِي Barang siapa yang mentaatiku maka dia telah taat kepada Allah, dan siapa yang bermaksiat kepadaku maka dia telah maksiat kepada Allah, diapa yang mentaati pemimpinku, maka dia telah mentaati aku, dan siapa yang membangkang kepada pemimpinku maka dia telah membangkang kepadaku. HR. Bukhari No. 7137, Muslim No. 1835 Dari Anas bin Malik Radhiallahu Anhu, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَإِنْ اسْتُعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيبَةٌ Dengarkan dan taatlah, walaupun kalian dipimpin oleh seorang budak habsyi yang seakan dikepalanya terdapat anggur kering kismis. HR. Bukhari No. 7142, 693 Dari Ibnu Umar Radhiallahu Anhu, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ Dengar dan taat adalah kewajiban bagi setiap muslim pada apa-apa yang mereka sukai dan benci selama tidak diperintahkan dengan maksiat. Jika diperintahkan dengan maksiat maka jangan dengarkan dan jangan taati. HR. Bukhari No. 7144, Abu Daud No. 2626, Ahmad No. 6278, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf No. 34396 Dari Ibnu Abbas Radhiallahu Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ إِلَّا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً Barang siapa yang melihat pemimpinnya ada sesuatu yang dia benci maka bersabarlah, sebab siapa saja yang memisahkan diri dari jamaah walau sejengkal, lalu dia mati, melainkan matinya itu di atas kejahiliyahan. HR. Bukhari No. 7054, Muslim No. 1849 Imam An Nawawi menjelaskan makna miitatan jahiliyah mati jahiliyah dalam hadits tersebut, dengan huruf mim dikasrahkan jadi bacanya miitatan bukan maitatan, artinya kematian mereka disifati sebagaimana mereka dahulu tidak memiliki imam pada masa jahiliyah. Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 12/238 Sementara Imam Asy Syaukani dalam Nailul Authar, menjelaskan; bahwa yang dimaksud dengan miitatan jahiliyah dengan huruf mim yang dikasrahkan adalah dia mati dalam keadaan seperti matinya ahli jahiliyah yang tersesat di mana dia tidak memiliki imam yang ditaati karena mereka tidak mengenal hal itu, dan bukanlah yang dimaksud matinya kafir tetapi matinya itu sebagai orang yang bermaksiat. Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 7/199 Dari Hudzaifah bin Al Yaman Radhiallahu Anhu beliau berkata يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا بِشَرٍّ فَجَاءَ اللَّهُ بِخَيْرٍ فَنَحْنُ فِيهِ فَهَلْ مِنْ وَرَاءِ هَذَا الْخَيْرِ شَرٌّ قَالَ نَعَمْ قُلْتُ هَلْ وَرَاءَ ذَلِكَ الشَّرِّ خَيْرٌ قَالَ نَعَمْ قُلْتُ فَهَلْ وَرَاءَ ذَلِكَ الْخَيْرِ شَرٌّ قَالَ نَعَمْ قُلْتُ كَيْفَ قَالَ يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ قَالَ قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ قَالَ تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ “Ya Rasulullah, sesungguhnya mendapatkan keburukan lalu datanglah kebaikan dari Allah, dan kami saat itu masih ada. Apakah setelah kebaikan itu datang keburukan lagi?” Rasulullah menjawab “Ya.” Hudzaifah bertanya “Apakah setelah keburukan itu akan datang kebaikan lagi?” Rasulullah mejawab “Ya.” Hudzaifah bertanya “Apakah setelah kebaikan akan datang keburukan lagi.” Rasulullah menjawab “Ya.” Hudzaifah bertanya lagi “Bagaimana itu?” Rasulullah menjawab “Akan ada setelahku nanti, para pemimpin yang tidaklah menuntun dengan petunjukku, tidak berjalan dengan sunahku, dan pada mereka akan ada orang-orang yang berhati seperti hati syaitan dalam tubuh manusia.” Hudzaifah bertanya “Apa yang aku lakukan jika aku berjumpa kondisi itu Ya Rasulullah?” Rasulullah menajwab “Dengarkan dan taati pemimpinmu, dan jika punggungmu dipukul dan diambil hartamu, maka dengarkan dan taat.” HR. Muslim No. 1847 Dari Auf bin Malik Al Asyja’i Radhiallahu Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلَاتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلَا تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ “Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan mereka pun mencintai kalian, mereka mendoakan kalian, dan kalian juga mendoakan mereka. Seburuk-buruknya pemimpin kalian adalah yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian, kalian melaknat mereka, dan mereka pun melaknat kalian.” Rasulullah ditanya “Ya Rasulullah tidakkah kami melawannya dengan pedang?” Rasulullah menjawab “Jangan, selama mereka masih shalat bersama kalian. Jika kalian melihat pemimpin kalian melakukan perbuatan yang kalian benci, maka bencilah perbuatannya, dan jangan angkat tangan kalian dari ketaatan kepadanya.” HR. Muslim No. 1855 Tetapi jika telah nampak kekafiran yang jelas maka boleh untuk menentangnya, sebagaimana hadits dari Ubadah bin Ash Shamit Radhiallahu Anhu, katanya إلا أن تروا كفرا بَوَاحا، عندكم فيه من الله برهان “Kecuali kalian melihatnya melakukan kekafiran yang nyata, dan kalian telah mendapatkan bukti nyata dari Allah terhadapnya.” HR. Bukhari No. 7055 Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan bahwa kufur di sini adalah maksiat. Lalu beliau berkata لا تنازعوا ولاة الأمور في ولايتهم ولا تعترضوا عليهم إلا أن تروا منهم منكرا محققا تعلمونه من قواعد الإسلام فإذا رأيتم ذلك فانكروا عليهم وقولوا بالحق حيثما كنتم انتهى Janganlah kalian lawan pemimpin pada urusan kekuasaan mereka, dan janganlah membangkang kepadanya kecuali kalian lihat mereka melakukan kemungkaran dari kaidah- kaidah Islam yang telah pasti kalian ketahui. Jika kalian melihat hal itu, maka ingkarilah mereka, dan katakanlah kebenaran di mana saja kalian berada. Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 12/229, Fathul Bari, 13/8 Ada pun jika pemimpin tersebut sudah benar-benar kafir, maka wajib dicopot dari jabatannya. Imam An Nawawi mengatakan قال القاضي عياض أجمع العلماء على أن الإمامة لا تنعقد لكافر وعلى أنه لو طرأ عليه الكفر انعزل قال وكذا لو ترك إقامة الصلوات والدعاء إليها قال وكذلك عند جمهورهم البدعة Berkata Al Qadhi Iyadh “Para ulama telah ijma’ bahwa imamah kepemimpinan tidak boleh diberikan kepada orang kafir, maka seandainya tiba-tiba dia kafir , dia mesti dicopot.” Beliau juga berkata “Demikian juga seandainya dia meninggalkan shalat dan menyeru atas hal itu. Menurut mayoritas ulama melakukan bid’ah juga termasuk.” Ibid Baca Juga Pemimpin Muslim yang Zalim dan Fasiq Haruskah Dimakzulkan? Beliau juga berkata وأما الخروج عليهم وقتالهم فحرام بإجماع المسلمين وإن كانوا فسقة ظالمين وقد تظاهرت الأحاديث Ada pun memberontak dan memerangi mereka adalah haram menurut ijma’ kaum muslimin walau pun mereka fasiq lagi zalim, dan hadits-hadits telah jelas menunjukkan hal itu. Ibid Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah menjelaskan قوله عندكم من الله فيه برهان أي نص آية أو خبر صحيح لا يحتمل التأويل ومقتضاه أنه لا يجوز الخروج عليهم ما دام فعلهم يحتمل التأويل Sabdanya dan kalian telah mendapatkan bukti nyata dari Allah terhadapnya, yaitu adanya nash ayat atau khabar shahih yang menunjukkan kekafirannya, pen, bukan perbuatan yang masih memungkinkan untuk ditakwil, konsekuensinya bahwa tidak boleh memberontak kepada mereka selama apa yang mereka lakukan masih mungkin ditakwil. Fathul Bari, 13/8 Hadits ini juga menunjukkan bahwa akan datangnya masa-masa perselisihan yang banyak. Hal itu bisa terjadi pada internal umat Islam, terlebih lagi dengan yang lain. Bahkan sebenarnya hal itu sudah terjadi sejak masa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan nabi-nabi sebelumnya. Hal ini juga dijelaskan dalam Al Quran, As Sunnah, dan fakta sejarah kehidupan manusia. Allah Azza wa Jalla berfirman وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ إِلَّا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ وَلِذَلِكَ خَلَقَهُمْ “Dan seandainya Tuhanmu kehendaki, niscaya Dia jadikan manusia itu umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih, kecuali yang dirahmati Tuhanmu, dan untuk itulah Dia menciptakan mereka” QS. Hud 118-119 Imam Ibnu Katsir Rahimahullah berkata tentang ayat ini, “Allah mengkabarkan bahwa Dia mampu menjadikan manusia seluruhnya satu umat, baik dalam keimanan atau kekufuran, sebagaimana firmanNya yang lainSeandainya Tuhanmu kehendaki, niscaya berimanlah semua manusia di bumi’. Lalu firmanNya tetapi mereka senantiasa berselisih, kecuali yang dirahmati Tuhanmu’ artinya perbedaan akan senantiasa terjadi antara manusia, baik tentang agama, keyakinan, millah, madzhab, dan pendapat-pendapat mereka. Berkata Ikrimah,’Mereka berbeda dalam petunjuk’. Berkata Hasan Al Bashri, Mereka berbeda dalam hal jatah rezeki, saling memberikan upah satu sama lain’. Yang masyhur dan benar adalah pendapat pertama pendapat Ikrimah. Dan firman selanjutnya kecuali yang dirahmati Tuhanmu’ artinya kecuali orang-orang yang dirahmati yang mengikuti rasul-rasul dan berpegang teguh kepada perintah-perintah agama, dan seperti itulah kebiasaan mereka hingga masa penutup para nabi dan rasul, mereka mengikutinya, membenarkannya, dan menjadi pembelanya. Maka beruntunglah dengan kebahagiaan dunia dan akhirat karena mereka adalah Firqah An Najiyah kelompok yang selamat sebagaimana yang diisyaratkan dalam sebuah hadits musnad dan sunan dari banyak jalur yang saling menguatkan satu sama lain, Sesungguhnya Yahudi berpecah menjadi 71 golongan, dan Nasrani menjadi 72 golongan, dan umat ini akan berpecah menjadi 73 golongan, semua ke neraka kecuali satu golongan’, mereka bertanya Siapa mereka ya Rasulullah?’, Rasulullah menjawab, Apa-apa yang aku dan sahabatku ada di atasnya’. Diriwayatkan Al Hakim dalam Al Mustadraknya dengan tambahan ini.” Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al Azhim, Juz 4, hal. 361-362. Cet. 2, 1999M/1240H. Dar At Thayyibah lin Nasyr wat Tauzi’ Imam Al Hasan Al Bashri mengatakan “Lil ikhtilaaf khalaqahum – mereka diciptakan untuk berbeda.” Ada pun Ibnu Abbas Radhiallahu anhuma dan Thawus bin Kaisan Radhiallahu Anhu mengatakan bahwa untuk rahmat-lah mereka diciptakan. Ibid Dari Abu Hurairah Radhiallahu Anhu, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلافُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ . Sesungguhnya binasanya orang-orang sebelum kalian adalah karena banyaknya pertanyaan mereka dan perselisihan mereka kepada nabi-nabi mereka. HR. Bukhari No. 6858, Muslim No. 1337 Perselisihan di antara manusia akan terus ada, namun tidak berarti tidak bisa bersatu, sebab perselisihan sudah ada sejak zaman terbaik –para sahabat- tetapi mereka bisa dipersatukan oleh Islam. Hadits ini juga menyebutkan solusi dari perselisihan, yaitu mengikuti jalan sunah nabi dan sunah para khulafa’ur rasyidin, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali Radhiallahu Anhum. Bahkan inilah solusi semua permasalahan, jika memang ingin mendapatkan kesudahan yang baik. Allah Ta’ala telah memerintahkan agar kita mengikuti Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Di antaranya يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah Al Quran dan Rasul sunnahnya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya” QS. An Nisa 4 59 Baca Juga Perintah untuk Taat dan Mengikuti Sunnah Rasulullah Hadits ini juga menyebutkan perintah agar menjauh dari perbuatan menciptakan hal-hal baru dalam agama muhdatsatul umuur, yang berupakan bid’ah tercela. Masalah bid’ah telah kami bahas dalam syarah hadits ke 5, baik definisi, jenis, kaidah, dampak buruk, dan lainnya. Silahkan merujuk! Makna Kata dan Kalimat عَن أَبي نَجِيحٍ العربَاضِ بنِ سَاريَةَ رضي الله عنه قَالَ Dari Abu Najih Al Irbadh bin Sariyah Radhiallahu Anhu, dia berkata Dia adalah Al Irbadh bin Sariyah As Salami, salah satu tokoh Ahlush Shuffah, meriwayatkan beberapa hadits dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Tinggal di kota Himsh. Imam Ahmad bin Hambal mengatakan, bahwa kun-yah Beliau adalah Abu Najih. Beberapa sahabat dan tabi’in telah meriwayatkan hadits darinya, seperti Jubair bin Nufair, Abu Rahmi As Sam’i, Abdurrahman bin Amru As Salami, Habib bin Ubaid, Hajar bin Hajar, Yahya bin Abu Al Mutha’, Amru bin Al Aswad, Al Muhashir bin Habib, Khalud bin Mi’dan, dan banyak lainnya. Abu Mashar dan lainnya mengatakan bahwa Al Irbadh bin Sariyah wafat tahun 75 H. Ada pula yang mengatakan Beliau wafat pada masa-masa fitnah Ibnu Az Zubair. Lihat Siyar A’lam An Nubala, 3/419-422, Usadul Ghabah, hal. 763-764 Selanjutnya وَعَظَنا رَسُولُ اللهِ مَوعِظَةً Rasulullah memberikan mau’izhah pelajaran kepada kami dengan sebuah pelajaran Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memberikan nasihat dan pelajaran kepada kami, yaitu kepada para sahabat-sahabatnya. Imam Ibnu Allan Rahimahullah mengatakan وقال وعظنا رسول الله أي بعد صلاة الصبح كما جاء في رواية أخرى موعظة من الوعظ، وهو النصح والتذكير بالعواقب وتنوينها للتعظيم أي موعظة جليلة Beliau berkata Rasulullah memberikan mau’izhah kepada kami yaitu setelah shalat subuh sebagaimana diterangkan dalam riwayat yang lain dengan sebuah pelajaran – mau’izhah, diambil dari kata Al Wa’zhu, yang artinya nasihat dan peringatan dengan berbagai perbuatan baik. Ada pun tanwin-nya menunjukkan pengagungan yaitu mau’zhatan jaliilatan – pelajaran yang besar. Dalilul Falihin, 2/99 Beliau juga berkata أي وعظنا وعظاً بليغاً Yaitu menasihati kami dengan pelajaran yang sangat mendalam. Ibid, 4/231 Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr Rahimahullah mengatakan الموعظة ما كان من الكلام فيه ترغيب وترهيب، يؤَثّر على النفوس ويبلغ القلوب، فتوجل من مخافة الله Al Mau’izhah adalah perkataan yang di dalamnya terdapat peringatan dan kabar gembira, yang membekas kepada jiwa, sampai ke relung hati, dan membuatnya bergetar karena takut kepada Allah. Fathul Qawwi Al Matin, Hal. 83 Selanjutnya وَجِلَت مِنهَا القُلُوبُ yang membuat hati bergetar karenanya Yaitu nasihat yang membuat hati ini takut dan bergetar. Imam Ibnul Atsir Rahimahullah mengatakan الوَجَلُ الفَزَعُ . وقد وَجِلَ يَوْجَلُ ويَيْجَل فهو وَجِلٌ Al Wajalu adalah Al Faza’u ketakutan. Wa qad wajila –yawjalu wa yayjalu artinya wajilun penakut. Imam Ibnul Atsir, An Nihayah fi Gharibil Atsar, 5/340 Wajilat artinya khaafat takut. Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr, Syarh Sunan Abi Daud, 1/181. Syaikh Ismail Al Anshari, At Tuhfah Ar Rabbaniyah, Syarah No. 28 Yaitu nasihat tersebut membuat hati bergetar karena takut kepada Allah Ta’ala. Ini merupakan ciri orang-orang beriman إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ …. Sesungguhnya orang-orang beriman itu adalah yang jika disebut nama Allah maka hati mereka bergetar karena takut ……. QS. Al Anfal 8 2 Di sisi lain, Allah Ta’ala menceritakan tentang orang-orang yang sulit menerima petunjuk dan nasihat, digambarkan bagaikan hati yang membatu. Allah Ta’ala berfirman ثُمَّ قَسَتْ قُلُوبُكُمْ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ فَهِيَ كَالْحِجَارَةِ أَوْ أَشَدُّ قَسْوَةً Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. QS. Al Baqarah 2 74 Selanjutnya وَذَرَفَت مِنهَا العُيون dan membuat air mata berlinang Dan nasihat ini membuat mengucurnya air mata karena rasa sedih dan terharu, mereka takut kalau ini menjadi nasihat yang terakhir dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bagi mereka. Dzarafat artinya saalat bid dumuu’ – mengalir air mata. At Tuhfah Ar Rabbaniyah, Syarah No. 29 Ini menunjukkan begitu besar pengaruh quwwatut ta’tsir nasihat nabi, padahal nasihat tersebut belumlah nabi ucapkan, namun mereka sudah merasakan pengaruhnya; pada hati mereka yang takut dan air mata mereka yang berlinang. Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr Hafizhahullah menjelaskan يعني حصل التأثر لقلوبهم وعيونهم، فعيونهم بكت، وقلوبهم وجلت Yakni nasihat yang menimbulkan pengaruh bagi hati dan mata mereka, mata mereka menangis, dan hati mereka ketakutan. Syarh Sunan Abu Daud, 26/257 Kita dapatkan ada tiga sifat mau’izhah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang digambarkan oleh Al Irbadh bin Sariyah, yakni mau’izhah yang begitu besar penting, membuat hati takut, dan membuat mata menangis. Dan, seharusnya beginilah peran para ulama dan da’i. Mereka menjadi kunci pembuka bagi akal, jiwa, dan hati manusia secara bersamaan. Sehingga majelis-majelis mereka bukan hanya mengubah manusia yang tidak tahu menjadi tahu, bukan hanya majelis ilmu, tetapi juga menjadikan yang keras hatinya menjadi lembut, yang membangkang menjadi tunduk, yang gelisah menjadi tenang, dan yang jauh kepada agama semakin mendekat dan merindukan surgaNya. Dari Ibnu Abbas Radhiallahu Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda عَيْنَانِ لَا تَمَسُّهُمَا النَّارُ عَيْنٌ بَكَتْ مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ وَعَيْنٌ بَاتَتْ تَحْرُسُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ Ada dua mata yang tidak akan disentuh oleh api neraka. Yaitu mata yang menangis karena takut kepada Allah dan mata yang terjaga karena berjaga-jaga fisabilillah. HR. At Tirmidzi No. 1639, katanya hasan gharib. Syaikh Al Albani menshahihkannya. Lihat At Ta’liq Ar Raghib, 2/153 Selanjutnya فَقُلْنَا lalu kami berkata Lalu Al ’Irbadh bin Sariyah berkata kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Walau ini menggunakan kata “kami” tapi maksudnya adalah tunggal yaitu Al Irbadh bin Sariyah, dan ini menunjukkan kerendah hatiannya. يَارَسُولَ اللهِ كَأَنَّهَا مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ Wahai Rasulullah, seakan ini adalah pelajaran perpisahan Wahai Rasulullah seakan ini adalah nasihat terakhir dan nasihat perpisahan. Syaikh Athiyah bin Muhammad Salim Rahimahullah menjelaskan والوقت الذي قيل فيه كان بعد عودته صلى الله عليه وسلم من حجة الوداع، وجاء في بعض آثار وطرق هذا الحديث أنه صلى الله عليه وسلم صلى على شهداء أحد، وخطب الناس، قال أنس وغيره كأنه يودع الأموات والأحياء Dikatakan bahwa waktu terjadinya adalah ketika kembalinya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dari haji wada’, disebutkan pada sebagian atsar dan jalan bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bershalawat untuk pada syuhada Uhud, dan berpidato kepada manusia. Berkata Anas dan lainnya Seakan akan dia berpisah dengan orang-orang yang mati dan yang hidup. Syarh Al Arbain An Nawawiyah, 61/2 Sahabat mengira ini sebagai nasihat perpisahan, hal itu terlihat dari kedalaman nasihat tersebut. Syaikh Abul Ala Al Mubarkafuri Rahimahullah mengatakan أي كأنك تودعنا بها لما رأى من مبالغته صلى الله عليه و سلم في الموعظة Yaitu seakan dengan nasihat itu engkau akan meninggalkan kami, karena mereka melihat dari begitu dalamnya mau’izhah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Tuhfah Al Ahwadzi, 7/366, Aunul Ma’bud, 12/232 Selanjutnya فَأَوصِنَا maka berikanlah wasiat kepada kami قَالَ أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عز وجل Beliau bersabda “Aku wasiatkan kepada kalian agar bertawa kepada Allah Azza wa Jalla Inilah wasiat pertama, yakni wasiat taqwa, sebab taqwa merupakan sebaik-baiknya wasiat dan bekal bagi seseorang. Dari Abu Hurairah Radhiallahu Anhu, katanya سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ الْجَنَّةَ فَقَالَ تَقْوَى اللَّهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ وَسُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ فَقَالَ الْفَمُ وَالْفَرْجُ Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam ditanya tentang sesuatu yang paling banyak menyebabkan manusia masuk ke dalam surga, beliau menjawab “Taqwa kepada Allah dan akhlak yang baik.” Beliau juga ditanya tentang penyebab terbanyak manusia dimasukkan ke dalam neraka, beliau menjawab “Mulut dan kemaluan.” HR. At Tirmidzi No. 2004, katanya shahih. Ibnu Hibban No. 4246, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 7919, katanya shahih. Imam Adz Dzahabi juga menshahihkannya dalam At Talkhish Berkata Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr Hafizhahullah وتقوى الله عز وجل هي أن يجعل الإنسان بينه وبين غضب الله وقاية تقية منه، وذلك يكون بامتثال الأوامر واجتناب النواهي، فهذه هي التقوى بالمعنى الشرعي، وأما معناها اللغوي فهو أوسع من الشرعي، وهو أن يجعل الإنسان بينه وبين أي شيء مخوف وقاية تقيه منه، فكل ما تخافه فإنك تجعل بينك وبينه وقاية، فالبرد مخوف فتجعل بينك وبينه وقاية بلبس الألبسة التي تقيك منه، والشوك والحصى والرمضاء في الأرض مخوف، فتلبس النعال والخفاف، وكذلك تتخذ البيت من أجل أن تتقي الشمس والبرد.. وهكذا. Bertaqwa kepada Allah Azza wa Jalla adalah manusia membuat tameng antara dirinya dan murkanya Allah, sebagai bentuk rasa takut kepadaNya. Demikian itu bisa terjadi dengan menjalankan segala perintah dan menjauhi larangannya. Inilah taqwa dengan pengertian menurut syariat. Ada pun makna secara bahasa lebih luas dari makna menurut syariat, yaitu manusia membuat pelindung antara dirinya dan segala sesuatu yang menakutkan dengan tameng yang bisa melindungi diri darinya. Maka, apa pun yang bisa menakutkan, lalu engkau jadikan pelindung antara dirimu dengannya, rasa dingin yang begitu menakutkan lalu engkau jadikan pelindung antara dirimu dengan rasa dingin itu dengan mengenakan pakaian yang menyelimutimu. Duri, kerikil, dan rasa panas di bumi yang sangat, hendaknya engkau mengenakan sendal dan khuf, demikian juga engkau berlindung di rumah untuk berlindung dari panas dan dingin … begitu seterusnya. Syarh Sunan Abi Daud, 26/257 Pada syarah hadits ke 18 sudah dibahas tentang makna taqwa, serta dampak-dampaknya bagi kehidupan pribadi dan masyarakat. Silahkan merujuk! Selanjutnya وَالسَّمعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ dengar dan taatlah walau pun yang memerintahkan kalian adalah seorang budak Dengar dan taatlah kepada pemimpin kalian, walau dia seorang budak yang menguasai urusan kalian. Syaikh Abul Ala Al Mubarkafuri Rahimahullah mengutip penjelasan Imam Al Khathabi Rahimahullah sebagai berikut قال الخطابي يريد به طاعة من ولاه الإمام عليكم وإن كان عبدا حبشا ولم يرد بذلك أن يكون الامام عبدا حبشيا وقد ثبت عنه صلى الله عليه و سلم أنه قال الأئمة من قريش وقد يضرب المثل في الشيء بما لا يكاد يصح في الوجود كقوله صلى الله عليه و سلم من بنى لله مسجدا ولو مثل مفحص قطاة بنى الله له بيتا في الجنة وقدر مفحص القطاة لا يكون مسجدا لشخص آدمي Al Khathabi berkata maksudnya adalah ketaatan kepada orang yang menjadi pemimpin yang mengurus kalian, walau dia seorang budak habsyi Etiopia, bukan bermakna seorang imam itu adalah diambil dari seorang budak Habsyi. Sebab telah shahih dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bahwa para pemimpin itu berasal dari Quraisy. Itu hanyalah perumpamaan sesuatu dengan apa-apa yang pada kenyataannya tidak ada. Seperti sabdanya Shallallahu Alaihi wa Sallam barang siapa yang membangun masjid untuk Allah walau sebesar sangkar burung, niscaya Allah akan bangunkan baginya sebuah rumah di surga, dan ukuran sebesar sangkar burung tidaklah bisa menjadi masjid bagi seorang manusia. Tuhfah Al Ahwadzi, 7/366 Jadi, apa yang Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tentang ketaatan kepada pemimpin walau dia seorang budak habsyi hanyalah perumpamaan saja, bukan pada hakikatnya. Sebab, pemimpin itu hendaknya berasal dari Quraisy, yaitu kepemimpinan besar umat Islam dalam sistem kekhilafahan. Selanjutnya فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلافَاً كَثِيرَاً Barang siapa di antara kalian yang masih hidup, niscaya akan banyak melihat perselisihan Yaitu barang siapa yang di antara kalian hidup setelah nabi wafat sebagaimana disebut dalam beberapa riwayat lain, kalian akan banyak melihat perselisihan dan juga sengit syadid. Baik perselisihan dalam perkataan, perbuatan, dan keyakinan. Imam Ibnu Allan Rahimahullah mengatakan فيه من معجزاته الإخبار بما يقع بعده من كثرة الاختلاف وغلبة المنكر، وقد كان عالماً به جملة وتفصيلاً، لما صح أنه كشف له عما يكون إلى أن يدخل أهل الجنة والنار منازلهم، ولم يكن يبينه لكل أحد وإنما كان يحذر منه على العموم، وكان يلقي بعض التفاصيل إلى الخصوص كحذيفة وأبي هريرة Pada hadits ini disebutkan di antara mu’jizatnya, yaitu pengabaran tentang peristiwa yang akan terjadi setelah masanya, berupa banyaknya perselisihan dan banyaknya kemungkaran. Beliau telah mengetahui hal itu baik secara umum dan rinci, karena telah shahih bahwa disingkapkan baginya tentang apa-apa yang membuat masuknya penduduk surga dan neraka menuju tempat mereka masing-masing. Beliau tidak pernah menyingkapkannya kepada seorang pun, paling hanya memperingatkan secara umum. Ada orang khusus yang diberikan sebagian rincian informasi olehnya seperti Hudzaifah dan Abu Hurairah. Dalilul Falihin, 2/100 Ada hadits lain yang agak mirip, yakni yang memprediksikan terbagi-baginya umat Islam menjadi banyak golongan. Dari Auf bin Malik Radhiallahu Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda افْتَرَقَتْ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً فَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَافْتَرَقَتْ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً فَإِحْدَى وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَتَفْتَرِقَنَّ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ هُمْ قَالَ الْجَمَاعَةُ “Yahudi terpecah menjadi 71 golongan, satu di surga, yang 70 di neraka. Nasrani terpecah menjadi 72 golongan, satu di surga, 71 di neraka. Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tanganNya, umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, satu di surga, 72 di neraka.” Rasulullah ditanya “Ya Rasulullah, siapakah mereka?” Beliau menjawab Al Jama’ah.” HR. Ibnu Majah No. 3992. Ath Thabarani, Musnad Asy Syamiyin No. 988 Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani, lihat Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah No. 3992. Al Bushiri mengatakan “Dalam sanadnya terdapat perbincangan.” Lihat Az Zawaid, 4/179 Hadits perpecahan umat, juga diriwayatkan dari beberapa sahabat selain Auf bin Malik di atas, di antaranya Jalur Abu Hurairah, tetapi hanya menyebut jumlah perpecahan, tanpa menyebut “Satu Yang di Surga” dan tanpa menyebut Al Jama’ah. HR. Abu Daud No. 4596, Abu Ya’la No. 5910, Imam Al Hakim mengatakan shahih sesuai syarat Imam Muslim, Al Mustadrak Alash Shahihain, No. 441 Jalur Anas bin Malik, tetapi hanya menyebut perpecahan Bani Israel 71 kelompok, semua neraka kecuali satu, dan perpecahan Umat Islam saja 72 kelompok, semua neraka kecuali satu, yakni Al Jama’ah, tanpa menyebut perpecahan Nasrani. HR. Ibnu Majah No. 3993. Abu Ya’la No. 3938, Ibnu Jarir, Jami’ul Bayan, 4/32. Al Bushiri berkata isnadnya shahih, para perawinya terpercaya. Lihat Az Zawaid, 4/170. Secara zhahir, hadits ini bertentangan dengan hadits dari Auf bin Malik di atas, yang menyebut umat Islam terpecah menjadi 73. Ini hanya sebagian saja dari hadits tentang iftiraqul ummah perpecahan umat, yang menjadi dasar bahwa Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah Al Firqah An Najiyah. Catatan Sebagaian ulama ada yang meragukan validitas keshahihan hadits-hadits di atas. Seperti Imam Abu Muhammad bin Hazm, Imam Ibnul Wazir Al Yamani, dan Syaikh Yusuf Al Qaradhawi hafizhahullah. Ada beberapa alasan yang mereka utarakan, di antaranya Hadits ini sangat penting, bahkan Imam Al Hakim menyebutnya dengan Ushulul Kabir dasar-dasar yang agung. Namun, Bukhari-Muslim tidak meriwayatkannya. Betul bahwa hadits shahih juga banyak tersebar di kitab-kitab selain Bukhari-Muslim, tetapi mereka tidaklah meninggalkan dalam kitabnya masalah-masalah sepenting ini. Perpecahan umat Islam ada 73, kenapa umat terbaik perpecahaannya koq lebih banyak? Kalimat yang menyebutkan pengecualian yang selamat, yakni kata-kata “Kecuali satu yang surga,” atau kata “Al Jama’ah” berpotensi disalahgunakan oleh sebagian orang untuk membenarkan kelompoknya, dan menyalahkan kelompok yang lain. Bahkan Imam Ibnul Wazir, dalam Kitab Al Awashim, mendhaifkan hadits-hadits ini secara keseluruhan, termasuk tambahannya, “Kecuali satu yang surga,” atau kata, “Al Jama’ah.” Beliau berkata وإياك والاغترار بـ “كلها هالكة إلا واحدة” فإنها زيادة فاسدة، غير صحيحة القاعدة، ولا يؤمن أن تكون من دسيس الملاحدة. قال وعن ابن حزم إنها موضوعة، عير موقوفة ولا مرفوعة “Hati-hatilah anda, jangan tertipu dengan kata – semua binasa kecuali satu– karena itu adalah tambahan yang rusak, tidak shahih, dan direkayasa oleh orang mulhid atheis. Berkata Ibnu Hazm hadits ini palsu, tidak mauquf sampai di sahabat, dan tidak pula marfu’ sampai Rasulullah.” Syaikh Dr. Yusuf Al Qaradhawi, Ash Shahwah Al Islamiyah Baina Al Ikhtilaf Al Masyru’ wat Tafarruq Al Madzmum, Hal. 27 Dalam sanadnya terdapat seorang rawi bernama Muhammad bin Amr bin Al Qamah bin Al Waqqash Al Laitsi. Para ulama berkata tentang dia صدوق، له أوهام “Orang jujur, tapi banyak keraguan.” Imam Ibnu Hajar, Taqribut Tahdzib, 1/763. Imam Badruddin Al Aini, Maghani Al Akhyar, 6/63/527 Tetapi Imam Adz Dzahabi memberikan penilaian positif tentang dia وكان حسن الحديث، كثير العلم، مشهوراً “Dia hasan bagus haditsnya, banyak ilmu, dan terkenal.” Imam Ad Dzahabi, Al Ibar fi Khabar min Ghabar, Hal. 38 Juga Imam An Nasa’i dan lainnya, berkata tentang dia “Laisa bihi ba’san” Dia tidak apa-apa Imam Adz Dzahabi, Man Lahu Ar Riwayah fi Kutub As Sittah, 2/207 Namun demikian yang menshahihkan hadits ini, dari kalangan pakar dan imam hadits lebih banyak dibanding yang mendhaifkan. Seperti Imam Al Hakim, Imam At Tirmidzi, Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnu Hajar, dan lain-lain. Sedangkan Imam Ibnu Hazm, telah masyhur dikalangan ulama bahwa dia adalah orang yang sangat ketat dalam menjarh menilai cacat perawi hadits, sampai-sampai ulama sekaliber Imam At Tirmidzi di katakannya majhul tidak dikenal!! Wallahu A’lam Selanjutnya فَعَلَيكُمْ بِسُنَّتِيْ maka hendaknya kalian berpegang kepada sunahku Yaitu jika kalian berselisih maka ikutilah sunahku sebagai solusi dari perselisihan, dan mengikuti sunahku itu adalah kewajiban. Baca Juga Kedudukan Sunnah dalam Islam Bag. 1 Selanjutnya وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ المّهْدِيِّينَ dan sunah para khulafaur rasyidin yang telah mendapatkan petunjuk Yaitu selain mengikuti sunahku, ikuti pula sunah para khulafaur rasyidin sepeninggalku, karena mereka telah mendapatkan petunjuk. Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali Radhiallahu Anhum. Oleh karenanya tidaklah dikatakan bid’ah apa-apa yang pernah dilakukan oleh mereka pada masa setelah wafatnya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, walau nabi tidak melakukannya. Karena hal itu merupakan sunah yang juga direkomendasikan oleh Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk diikuti. Seperti baitul maal pada masa Abu Bakar, pembukuan Al Quran pada masa Utsman, pembuatan penjara untuk penjahat pada masa Umar, keputusan-keputusan hukum Ali untuk para pemabuk atau Unta hilang yang tidak sama dengan masa nabi dan tiga khalifah setelahnya. Begitu pula tarawih 23 rakaat pada masa Umar Radhiallahu Anhu, yang telah menjadi ijma’ para sahabat. Juga azan shalat Jumat sebanyak 2 kali yang dilakukan oleh khalifah Utsman bin Affan Radhiallahu Anhu, yang telah menjadi ijma’ sukuti di antara para sahabat nabi. Semoga Allah Ta’ala meridhai mereka semua. Jalan sunah mereka adalah jalan yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala untuk diikuti, dan Allah Ta’ala mengancam orang-orang yang menentang Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan tidak mengikuti jalan mereka. Allah Ta’ala berfirman وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. QS. An Nisa 4 115 Baca Juga Sekelumit tentang Keutamaan Khulafaur Rasyidin Selanjutnya عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ dan gigitlah dengan geraham kalian Yakni gigitlah sunah itu, sunah nabi dan sunah para khalifahnya, secara sungguh-sungguh. Imam Al Munawi Rahimahullah menjelaskan أي بجميع الفم كناية عن شدة التمسك ولزوم الاتباع لهم والنواجذ الأضراس أو الضواحك أو الأنياب Yaitu dengan sepenuh mulut kalian, ini merupakan perumpamaan dari kuatnya keteguhan dan komitmennya terhadap mengikuti sunah mereka. An Nawajidz adalah geraham atau taring. At Taisir, 5/48 Wallahu A’lam
Kategori 26. Syarah Hadits Irbadh bin Sariyah Berpeganglah Dengan Sunnahku,Sunnah Para Khulafa’urasyidin Setelahku 1 Post
Biografi Irbadh bin Sariyah radhiyallahu anhu Nama kuniyah beliau adalah Abu Najiih. Beliau berasal dari Bani Sulaim. Beliau adalah satu dari tujuh orang Bani Sulaim yang berbaiat kepada Nabi. Syuraih bin Ubaid berkata; Kami datang kepada Nabi, tujuh orang dari Bani Sulaim. Yang tertua di antara kami adalah Irbadh bin Sariyah, lalu kami pun membaiat Nabi. Sebenarnya Bani Sulaim terhitung memiliki kekerabatan sebagai paman-paman Nabi dari jalur ibu. Bani Sulaim sendiri adalah kelompok besar yang lahir darinya berbagai kabilah besar. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda; أَنَا ابۡنُ الۡعَوَاتِكِ مِنۡ سُلَيۡمٍ “Aku adalah putra dari awatik yang berasal dari Sulaim.” Awatik, bentuk jamak dari nama Atikah. Maksud beliau adalah tiga wanita utama Quraisy. Mereka adalah Atikah bintu Hilal, yang dinikahi oleh pemimpin Quraisy saat itu yaitu Qusay bin Kilab, sehingga melahirkan Abdu Manaf, kakek dari dua Qabilah Bani Umayyah dan Bani Hasyim. Abdu Manaf lalu menikahi Atikah bintu Murrah anak perempuan dari bibi dari jalur ibu. Maka lahir darinya Hasyim bin Abdi Manaf kakek dari ahli bait Bani Hasyim. Adapun Atikah yang ketiga bernama Atikah bintu Al Aqwash. Ia adalah anak perempuan dari saudara laki-laki Atikah yang kedua sekaligus cucu wanita dari saudara laki-laki Atikah yang pertama. Ia dinikahi oleh Abdu Manaf bin Zahrah, anak saudara laki-laki dari Qusay bin Kilab. Lahir darinya Wahab bin Abdi Manaf, ayah dari Aminah, ibu Rasulullah. Oleh karenanya, Bani Sulaim memiliki kedekatan nasab dengan Nabi. Irbadh bin Sariyah meriwayatkan beberapa hadis dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Terhitung sebanyak 31 hadis beliau riwayatkan dari Nabi. Beliau adalah shahabat yang hadisnya tidak disebutkan dalam kitab shahihain shahih Al Bukhari dan Muslim. Adapun murid-murid beliau yang meriwayatkan hadis dari beliau di antaranya; Abdurrahman bin Amr As Sulami, Abu Salamah Abdurrahman bin Maisarah Al Hadrami, Abu Rahm Ahzaab bin Usaid As Simaai, Habiib bin Ubaid, Abdullah bin Abi Bilaal, Suwaid bin Jabalah, Abdul A’la bin Hilal, Jubair bin Nufair, Khalid bin Ma’dan, Ubadah bin Aufa An Namiiri, Hajar bin Hajar, serta yang lainnya. Di antara hadis yang beliau riwayatkan dari nabi adalah hadis yang masyhur bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah salat subuh mengimami kami. Setelah selesai beliau menghadap kepada kami dan menasihati kami dengan nasihat yang menyentuh, sehingga menjadikan air mata menetes dan kalbu bergetar. Maka kami mengatakan Wahai Rasulullah seakan-akan nasihat ini adalah nasihat perpisahan, maka berilah kami wasiat’. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Aku wasiatkan kalian untuk bertaqwa kepada Allah, mendengar dan taat kepada pemimpin walau dia seorang budak habasyah. Karena siapa saja dari kalian yang hidup setelahku, maka ia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka, wajib atas kalian untuk berpegang dengan sunnahku dan sunnah para Al khulafa’ Ar Rasyidin yang terpetunjuk. Gigitlah sunah tersebut dengan geraham kalian. Dan berhati-hatilah kalian dari perkara yang baru, karena setiap bidah adalah sesat.” Beliau adalah seorang shahabat yang senantiasa bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam baik dalam keadaan safar ataukah mukim. Oleh karenanya ada banyak hadis yang beliau dapatkan dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Di antara sebab beliau dekat dengan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam adalah karena beliau pernah menjadi ahlu shuffah. Ya, Irbadh bin Sariyah As Sulami radhiyallahu anhu adalah salah seorang shahabat dari ahli Shuffah. SEDIKIT GAMBARAN TENTANG AHLU SHUFFAH Shuffah adalah suatu tempat yang terletak di masjid Nabawi bagian belakang sebelah timur laut masjid Nabawi. Tempat tersebut dinaungi dengan pelepah-pelepah kurma. Shuffah sendiri semakna dengan dzillah yang berarti naungan. Nabi mempersiapkan tempat tersebut sebagai tempat singgah setiap orang yang asing pendatang yang belum berkeluarga dari kalangan muhajirin. Selain itu, shuffah juga digunakan untuk singgahnya para utusan kabilah. Sehingga yang menempat shuffah terkadang banyak terkadang sedikit. Kebanyakan Ahlu shuffah adalah para dhuafa. Sedikit gambaran tentang kemiskinan yang diderita oleh ahlu shuffah adalah apa yang disebutkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu anhu لَقَدۡ رَأَيۡتُ سَبۡعِينَ مِنۡ أَهۡلِ الصُّفَّةِ مَا مِنۡهُمۡ رَجُلٌ عَلَيۡهِ رِدَاءٌ. إِمَّا إِزَارٌ وَإِمَّا كِسَاءٌ قَدۡ رَبَطُوا فِي أَعۡنَاقِهِمۡ مِنۡهَا مَا يَبۡلُغُ نِصۡفُ السَّاقَيۡنِ، وَمِنۡهَا مَا يَبۡلُغُ الۡكَعۡبَيۡنِ فَيَجۡمَعُهُ بِيَدِهِ كَرَاهِيَةً أَنۡ تُرَى عَوۡرَتُهُ “Sungguh aku melihat 70 orang ahli shuffah, tak seorangpun dari mereka yang mengenakan ridaa’ pakaian atas, kalau bukan memakai izar pakaian bawah, maka memakai kain yang diikatkan pada leher mereka. Ada yang panjangnya menjulur sampai separuh betis, ada pula yang menjulur sampai ke mata kaki. Mereka pun memegangi ujung-ujungnya dengan tangannya karena khawatir terlihat auratnya.” [Riwayat Al Bukhari] Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sendiri sering duduk-duduk bersama mereka. Mengajak mereka makan dan minum apabila beliau memiliki keluasan rezeki. Demikianlah perhatian dan kecintaan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam terhadap ahlu shuffah. Demikian pula para shahabat, terkadang mereka menjamu dua atau tiga orang dari mereka untuk makan di rumah mereka. Terkadang pula para shahabat mengirim kurma muda yang bagus untuk mereka makan. Ada pula di antara orang-orang munafikin yang melakukan hal yang sama seperti shahabat, namun mereka memberikan kurma yang jelek-jelek kepada mereka. Maka Allah pun turunkan firman-Nya يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَنفِقُوا۟ مِن طَيِّبَـٰتِ مَا كَسَبۡتُمۡ وَمِمَّآ أَخۡرَجۡنَا لَكُم مِّنَ ٱلۡأَرۡضِ ۖ وَلَا تَيَمَّمُوا۟ ٱلۡخَبِيثَ مِنۡهُ تُنفِقُونَ وَلَسۡتُم بِـَٔاخِذِيهِ إِلَّآ أَن تُغۡمِضُوا۟ فِيهِ ۚ وَٱعۡلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ غَنِىٌّ حَمِيدٌ “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah di jalan Allah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya. Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” [ Al Baqarah 267] Mayoritas amalan ahlu shuffah adalah belajar Al Quran dan hukum-hukum syariat dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Di siang hari mereka berupaya mencari penghidupan halal, untuk kemudian kembali ke masjid, hingga Allah bukakan rezeki bagi mereka. Bila ada panggilan jihad, mereka bersiap untuk urut serta bagi yang memiliki harta sebagai bekal jihad. Mereka juga sebagai kaum yang banyak menimba ilmu dan pemahaman dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Di antara ahlu shuffah yang terkenal adalah Abu Hurairah radhiyallahu anhu. Ahli shuffah sejatinya adalah pembesar-pembesar shahabat dalam sikap wara’. Merekalah orang-orang yang bertawakal kepada Allah, dan senantiasa berkhidmat kepada nabi. Allah memilih mereka seperti apa yang Allah pilihkan untuk Nabi-Nya berupa kehidupan yang miskin, sederhana, dan tunduk dalam peribadahan kepada-Nya. Bersamaan dengan itu, mereka juga hidup tanpa meminta-minta kepada manusia. Mereka rela meninggalkan dunia mereka, berhijrah meninggalkan harta, kedudukan serta negeri mereka, demi meraih apa yang di sisi Allah. Demikianlah keutamaan ahlu shuffah. Irbadh bin Sariyah radhiyallahu anhu pun adalah bagian dari mereka. Beliau diketahui adalah salah satu shahabat yang banyak menangis. Beliau juga termasuk ahlu shuffah yang turun kepada mereka firman-Nya وَلَا عَلَى ٱلَّذِينَ إِذَا مَآ أَتَوۡكَ لِتَحۡمِلَهُمۡ قُلۡتَ لَآ أَجِدُ مَآ أَحۡمِلُكُمۡ عَلَيۡهِ تَوَلَّوا۟ وَّأَعۡيُنُهُمۡ تَفِيضُ مِنَ ٱلدَّمۡعِ حَزَنًا أَلَّا يَجِدُوا۟ مَا يُنفِقُونَ “Dan tiada pula berdosa atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan untuk berjihad, lalu kamu berkata “Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu.” Lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan.” [ At Taubah 92] Di antara sikap bijak Irbadh bin Sariyah adalah kejadian berikut ini. Suatu ketika Muawiyyah radhiyallahu anhu memberikan seekor keledai dari hasil ghanimah kepada Miqdad, maka Irbadh pun mengatakan kepada Miqdad, “Tidak ada hakmu mengambilnya, dan tidak ada haknya untuk memberikannya kepadamu, seakan aku melihatmu sedang membawa api.” Maka Miqdad pun akhirnya mengembalikan keledai tersebut. Setelah kaum muslimin menaklukkan Syam, negeri bagian kerajaan Romawi, beliau bermukim di Hims, salah satu kota di Negeri Syam. Di sana beliau banyak memberi faedah ilmiyyah kepada kaum muslimin. Beliau meninggal di tahun 75 H di kota Hims. Sebagian ulama menyebutkan bahwa beliau meninggal sebelumnya, yakni pada kejadian Ibnu Zubair. Semoga Allah meridainya. [Ustadz Hammam] Sumber Majalah Tashfiyah edisi 91 1441H/2019M rubrik Figur.
Hadits Arbain 28 ini mengajarkan kita satu prinsip penting dalam beragama, ikutilah sunnah nabi shallallahu alaihi wa sallam dan tinggalkanlah bidah, serta diperintahkan untuk taat pada pemimpin selama bukan dalam maksiat. الحَدِيْثُ الثَّامِنُ وَالعِشْرُوْنَ عَنْ أَبِي نَجِيْحٍ العِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ قاَلَ وَعَظَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ مَوْعِظًةً وَجِلَتْ مِنْهَا القُلُوْبُ وَذَرَفَتْ مِنْهَا العُيُوْنُ فَقُلْنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ كَأَنَّهَا مَوْعِظَةً مُوَدِّعٍ فَأَوْصِنَا قَالَ أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَي اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ المَهْدِيِّيْنَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ رَوَاهُ أَبُوْ دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِيُّ وَقَالَ حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ Hadits Kedua Puluh Delapan Dari Abu Najih Al-Irbadh bin Sariyah radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memberikan nasihat kepada kami dengan nasihat yang membuat hati menjadi bergetar dan mata menangis, maka kami berkata, Wahai Rasulullah! Sepertinya ini adalah wasiat dari orang yang akan berpisah, maka berikanlah wasiat kepada kami.’ Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Aku berwasiat kepada kalian agar bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat meskipun kalian dipimpin seorang budak. Sungguh, orang yang hidup di antara kalian sepeninggalku, ia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, wajib atas kalian berpegang teguh pada sunnahku dan Sunnah khulafaur rosyidin al-mahdiyyin yang mendapatkan petunjuk dalam ilmu dan amal. Gigitlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian, serta jauhilah setiap perkara yang diada-adakan, karena setiap bidah adalah sesat.” HR. Abu Daud dan Tirmidzi, ia berkata bahwa hadits ini hasan sahih. [HR. Abu Daud, no. 4607 dan Tirmidzi, no. 2676. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih]. Faedah Hadits Pertama Sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam begitu semangat dalam meraih kebaikan. Kedua Disyariatkan memberi nasihat maw’izhah, diberikan pada tempatnya, dan sifat nasihat tersebut membekas. Syaikh Abdul Muhsin menyatakan, “Maw’izhah nasihat dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam punya tiga sifat yaitu al-balaaghah bahasanya menyentuh dan jelas, hati bergetar, dan bisa membuat mata menangis.” Fath Al-Qawi Al-Matin, hlm. 95. Ketiga Wasiat perpisahan itu lebih membekas dalam hati. Keempat Hati yang dalam keadaan takut, bisa membuat air mata menangis. Jika hati dalam keadaan gelap penuh maksiat, maka air mata tidaklah menangis, karena tidak dalam keadaan takut pada Allah. Hal ini yang disebutkan oleh Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dan Syaikh Abdullah Al-Farih. Baca Juga Menangis Karena Allah Kelima Disyariatkan meminta nasihat dari yang lain, lebih-lebih lagi yang dimintai nasihat adalah orang yang punya keutamaan dalam ilmu. Keenam Wasiat yang paling penting untuk seorang hamba adalah bertakwa kepada Allah, karena wasiat tersebut merupakan wasiat orang yang terdahulu dan belakangan. Ketujuh Syaikh Abdul Muhsin berkata, “Takwa adalah sebab memperoleh segala kebaikan dan kemenangan di dunia dan akhirat. Banyak ayat yang menyebutkan perintah untuk bertakwa kepada Allah. Seringnya adalah ayat tersebut didahului dengan kalimat Yaa ayyuhalladzina aamanuu wahai orang-orang yang beriman. Begitu pula takwa ini menjadi wasiat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pada para sahabatnya.” Fath Al-Qawi Al-Matin, hlm. 96 Kedelapan Termasuk wasiat paling penting adalah menaati penguasa kaum muslimin dalam selain maksiat, juga berpegang pada ajaran Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan khulafaur rosyidin. Kesembilan Patuh dan taat kepada penguasa adalah selama bukan dalam perkara maksiat walaupun penguasa tersebut adalah seorang budak. Para ulama telah sepakat bahwa seorang budak tidaklah pantas untuk menjadi khalifah. Hadits ini berarti perintah untuk menaati penguasa, walau ia penguasa yang tidak pantas. Kesepuluh Syaikh Abdul Muhsin mengatakan, “Wasiat yang paling penting adalah taat dan patuh pada penguasa kaum muslimin karena di dalamnya terdapat manfaat dunia dan akhirat untuk kaum muslimin.” Fath Al-Qawi Al-Matin, hlm. 100 Kesebelas Hadits ini menunjukkan mukjizat Nabi shallallahu alaihi wa sallam karena sepeninggal beliau akan ditemui perselisihan yang banyak. Kedua belas Berpegang pada As-Sunnah yaitu jalan Nabi shallallahu alaihi wa sallam agar selamat dari perselisihan, juga kita diperintahkan berpegang pada sunnah khulafaur rosyidin. Khulafaur rosyidin adalah Abu Bakar, Umar bin Al-Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah menyatakan kekhilafahan mereka berdasarkan wahyu. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Safinah radhiyallahu anhu, خِلاَفَةُ النُّبُوَّةِ ثَلاَثُوْنَ سَنَةً ثُمَّ يُؤْتِي اللهُ المُلْكَ أَوْ مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ “Khilafah Nubuwwah itu selama 30 tahun. Kemudian Allah karuniakan kerajaan setelah itu.” Dikeluarkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah, 460. Masa pemerintahan – 632–634 M Abu Bakar Ash-Shiddiq – 634–644 M Umar bin Al-Khaththab – 644–656 M Utsman bin Affan – 656–661 M Ali bin Abi Thalib Ketiga belas Disebutkan oleh Ibnu Rajab Al-Hambali dalam Jaami’ Al-Ulum wa Al-Hikam, “As-Sunnah adalah jalan yang dilalui. Maka yang dimaksud di sini adalah berpegang pada jalan Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan khulafaur rosyidin, yaitu dalam hal berakidah, amalan, dan ucapan. Itulah As-Sunnah yang sempurna. Oleh karena itu, ulama salaf terdahulu tidaklah memutlakkan begitu saja kata As-Sunnah kecuali mencakup itu semua. Demikian diriwayatkan semakna dari Al-Hasan Al-Bashri, Al-Auza’i, dan Al-Fudhail bin Iyadh. Adapun ulama belakangan mengkhususkan istilah As-Sunnah untuk hal-hal yang terkait dengan keyakinan. Karena keyakinan akidah adalah pokok agama. Menyelisihi akidah ini berarti berada dalam bahaya yang besar.” Keempat belas Hadits ini mengingatkan bahaya bidah. Kelima belas Kaedah yang diajarkan dalam hadits ini adalah setiap bidah itu sesat, tidak ada bidah hasanah. Keenam belas Hadits yang menyebutkan menjadi pelopor dalam kebaikan sunnah hasanah yaitu hadits, مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كَانَ لَهُ أَجْرُهُ وَمِثْلُ أُجُورِهِمْ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ سَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهُ وَمِثْلُ أَوْزَارِهِمْ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئًا “Barangsiapa melakukan suatu amalan kebaikan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya ganjaran semisal ganjaran orang yang mengikutinya dan sedikitpun tidak akan mengurangi ganjaran yang mereka peroleh. Sebaliknya, barangsiapa melakukan suatu amalan kejelekan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya dosa semisal dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosanya sedikit pun.” HR. Muslim, no. 1017. Hadits ini maksudnya adalah menjadi teladan dalam kebaikan. Sebagaimana hal ini begitu jelas ketika membicarakan sebab hadits ini. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika itu memotivasi untuk sedekah. Kemudian ada orang Anshar yang membawa wadah besar, kemudian yang lainnya ikut-ikutan dalam bersedekah. Ketujuh belas Umar menghidupkan shalat tarawih pada bulan Ramadhan juga bentuknya adalah menghidupkan sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang sudah ada. Kedelapan belas Ajaran khulafaur rosyidin dianggap sebagai ajaran Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Kesembilan belas Hendaklah menggabungkan antara targhib dan tarhib, yaitu memotivasi dan menakut-nakuti. Dalam hadits digunakan kalimat targhib “fa-alaikum” hendaklah kalian mengikuti dan kalimat tarhib “wa iyyakum” hati-hatilah. Kedua puluh Wajib mempelajari ajaran Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Karena tidak mungkin seseorang mengikutinya selain dengan belajar. Tidak belajar, tentu saja tidak mungkin mengenal ajaran beliau. Kedua puluh satu Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Jika banyak golongan-golongan hizbiyyah, maka jangalah mengikuti hizbi yang ada. Dahulu sudah muncul banyak golongan seperti Khawarij, Muktazilah, Jahmiyyah, dan Rafidhah. Kemudian belakangan ini ada berbagai golongan seperti salafiyyun, tablighiyyun, dan semacamnya. Ini semua kelompok-kelompok, jadikanlah yang kamu ikuti adalah sunnah nabi shallallahu alaihi wa sallam, karena Rasul shallallahu alaihi wa sallam katakan, Hendaklah berpegang pada ajaranku dan ajaran khulafaur rosyidin. Tidak ragu lagi bahwa wajib bagi kaum muslimin mengikuti madzhab salaf, kita tidak disuruh mengikuti kelompok yang namanya salafiyyun. Wajib bagi umat Islam mengikuti madzhab salafush shalih, bukan mengikuti kelompok salafiyyun. Namun para ikhwah salafiyyun lebih dekat pada kebenaran. Akan tetapi, masalah mereka adalah sama dengan yang lainnya, mereka saling sesatkan dan saling memfasikkan. Kami tidak salahkan mereka jika mereka berada di atas kebenaran. Akan tetapi, yang kami ingkari adalah cara mereka mengoreksi dengan cara seperti itu. Wajib bagi kita untuk menyatukan pemimpin tiap-tiap kelompok ini. Lalu kita suruh untuk mengikuti Alquran dan sunnah Rasul shallallahu alaihi wa sallam. Kita berhukum kepada keduanya bukan kembali pada hawa nafsu, bukan berhukum pada fulan atau fulan. Setiap orang bisa benar atau salah, selama masih berada di atas ilmu dan ibadah. Akan tetapi yang maksum adalah dinul Islam.” Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah, hlm. 308-309 Referensi Fath Al-Qawi Al-Matin fi Syarh Al-Arba’in wa Tatimmat Al-Khamsin li An-Nawawi wa Ibnu Rajab rahimahumallah. Cetakan kedua, Tahun 1436 H. Syaikh Abdul Muhsin bin Hamad Al-Abbad Al-Badr. Khulashah Al-Fawaid wa Al-Qawa’id min Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah. Syaikh Abdullah Al-Farih. Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah. Cetakan ketiga, Tahun 1425 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Penerbit Dar Ats-Tsuraya. Baca Juga Hati-Hati Berkata Bid’ah Akibat Beramal Tanpa Tuntunan Diselesaikan di Garuda, perjalanan Jogja – Jakarta, 30 November 2019 Oleh Muhammad Abduh Tuasikal Artikel
hadits irbadh bin sariyah